Politik Pintu Terbuka : Hindia Belanda dan Orde Baru

Penulis Toto Gutomo, pada 18 Jun 2011




A.    Politik Pintu Terbuka Van Deventer
Pada politik kolonial liberal di Indonesia tidak terlepas dari perubahan politik Belanda. Pada tahun 1850, golongan liberal di negeri Belanda mulai memperoleh kemenangan dalam pemerintahan. Kemenangan itu diperoleh secara mutlak pada tahun 1870, sehingga tanam paksa dapat dihapuskan. Mereka berpendapat bahwa kegiatan ekonomi di Indonesia harus ditangani oleh pihak swasta. Pemerintah hanya mengawasi saja, yaitu hanya sebagai polisi penjaga malam yang tidak boleh campur tangan dalam bidang ekonomi. Sistem ini akan menumbuhkan persaingan dalam rangka meningkatkan produksi perkebunan di Indonesia. Dengan demikian pendapatan negara juga akan bertambah.
Untuk mewujudkan sistem tersebut, pada tahun 1870 di Indonesia dilaksanakan politik kolonial liberal atau sering disebut “politik pintu terbuka” (open door policy). Sejak saat itu pemerintahan Hindia Belanda membuka Indonesia bagi para pengusaha swasta asing untuk menanamkan modalnya, khususnya di bidang perkebunan. Pelaksanaan sistem liberal ini ditandai dengan keluarnya Undang-Undang De Waal, yaitu Undang-undang Agraria dan Undang-Undang Gula. Undang-Undang Gula (Agrarische Wet) menjelaskan bahwa semua tanah di Indonesia adalah milik pemerintah kerajaan Belanda. Oleh karena itu, pihak swasta boleh menyewanya dalam jangka waktu antara 50 sampai 75 tahun di luar tanah-tanah yang digunakan oleh penduduk untuk bercocok tanam. Dalam Undang-Undang Gula (Suiker Wet) ditetapkan, bahwa tebu tidak tidak boleh diuangkut ke luar Indonesia tetapi harus diproses didalam negeri. Pabrik gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap dan diambil alih oleh pihak swasta. Pihak swasta juga diberi kesempatan yang luas untuk mendirikan pabrik gula baru.
Hal ini nampaknya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain terlihat pada a). Keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai buruh penggarap tanah. b). Prinsip keuntungan absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar dan mendorong mengalirnya faktor produksi ke tempat tersebut. c). Laissez fairelaissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta, walau jelas, pemerintah Belanda masih memegang peran yang besar sebagai penjajah yang sesungguhnya.
Terbukanya Indonesia bagi swasta asing berakibat munculnya perkebunan-perkebunan swasta asing di Indonesia seperti perkebunan teh dan kina di Jawa Barat, perkebunan tembakau di Deli, perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan perkebunan karet di Serdang. Selain di bidang perkebunan, juga terjadi penanaman modal di bidang pertambangan batu bara di Umbilin. Menurut Swanto, dkk. (1997) pengaruh gerakan liberal terhadap Indonesia secara umum adalah : 1). Tanam paksa dihapus. 2). Modal swasta asing mulai ditanamkan di Indonesia. 3). Rakyat Indonesia mulai mengerti akan arti pentingnya uang. 4). Usaha kerajinan rakyat terdesak oleh barang impor. 5). Pemerintah Hindia Belanda membangun sarana dan prasarana. 6). Hindia Belanda menjadi penghasil barang perkebunan yang penting.
Pelaksanaan politik kolonial liberal ternyata tidak lebih baik dari pada tanam paksa. Justru pada masa ini penduduk diperas oleh dua pihak. Pertama oleh pihak swasta dan yang kedua oleh pihak pemerintah. Pemerintah Hindia Belanda memeras penduduk secara tidak langsung melelui pajak-pajak perkebunan dan pabrik yang harus dibayar oleh pihak swasta. Padahal, pihak swasta juga ingin mendapat keuntungan yang besar. Untuk itu, para buruh diibayar dengan gaji yang sangat rendah, tanpa jaminan kesehatan yang memadai, jatah makan yang kurang, dan tidak lagi mempunyai tanah karena sudah disewakan untuk membayar hutang.
Disamping itu, para pekerja perkebunan diikat dengan sistem kontrak, sehingga mereka tidak dapat melepaskan diri. Mereka harus mau menerima semua yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Mereka tidak berani melarikan diri walaupun menerima perlakuan yang tidak baik, karena mereka akan kena hukuman dari pengusaha jika tertangkap. Pihak pengusaha memang mempunyai peraturan yang disebut Poenale Sanctie (peraturan yang menetapkan pemberian sanksi hukuman bagi para buruh yang melarikan diri dan tertangkap kembali). Keadaan yang demikian ini menyebabkan tingkat kesejahteraan rakyat semakin merosot sehingga rakyat semakin menderita.
Jadi, pada masa tanam paksa rakyat diperas oleh pemerintah Hindia Belanda, sedangkan pada masa politik pintu terbuka rakyat diperas baik pengusaha swasta maupun oleh pemerintah. Walaupun pemerintah melakukannya secara tidak langsung. Kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat. Dengan demikian politik kolonial liberal yang semula menghendaki liberalisasi tanah jajahan lalu berkembang menjadi bagaimana mengatur tanah jajahan untuk memperoleh uang (Wiharyanto, 2006 :128).
Masuknya politik liberal yang disebabkan oleh gelombang liberalisme Eropa pada 1840-an, kekuatan liberal Belanda, didukung pemilik modal dan kelas menengah, meraih kekuasaan di negeri sendiri, lalu mengontrol perekonomian Hindia Belanda. Berkredo "kebebasan usaha, kebebasan kerja, dan pemilikan pribadi", kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat (Latif, 2007). Kaum liberal memandang Hindia Belanda sebagai ladang pihak swasta sehingga dapat menimbulkan akibat-akibat, diantaranya : 1). Timbulnya urbanisasi. Hal ini dapat terjadi karena rakyat yang sudah tidak mempunyai tanah, pergi ke kota untuk mencari kehidupan dengan bekerja pada pabrik-pabrik yang telah didirikan oleh pihak swasta maupun pemerintah. 2). Penduduk kota semakin bertambah padat. 3). Timbulnya kaum buruh. 4). Rakyat pedesaan mulai mengenal uang. 5). Barang kerajinan rakyat terdesak oleh barang impor. 6). Tanah perkebunan semakin luas (Swanto,dkk.,1997:30).
Bagi bangsa Indonesia, liberalisme jelas merupakan ideologi yang dapat mengancam kelangsungan kebangsaan Indonesia karena secara material, di dalamnya terkandung nilai-nilai sosial-politik yang tidak sesuai dan bertentangan dengan sikap politik bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita, berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Gerakan globalisasi dengan ideologi liberalismenya secara material adalah upaya sistematis taktis dari negara Barat yang diarahkan untuk meruntuhkan kesepakatan politik bangsa Indonesia dalam memandang hakikat nation state. Menurut Soedjendro (2006) nilai-nilai sosial-politik ideologi liberalisme yang bersifat ekstrem dan bertentangan dengan ideologi Pancasila tersebut adalah: Pertama, ideologi liberalisme menawarkan prinsip kebebasan individual secara mutlak, tidak berpijak pada nilai-nilai moral, kesusilaan, dan keadilan sosial. Kedua, ideologi liberalisme menghendaki adanya sistem pengelolaan perekonomian secara bebas dan tidak menghendaki adanya keterlibatan negara (pemerintah) dalam menciptakan kesejahteraan sosial-ekonomi rakyat. Ketiga, ideologi liberalisme menganut sistem nilai demokrasi yang menggunakan ukuran pembenaran berdasarkan kebutuhan diktator mayoritas, sehingga untuk mencapainya cukup dengan ukuran 50% ditambah 1 selesai. Namun demokrasi yang dicita-citakan ideologi Pancasila tidak bisa atau tidak cukup dengan hanya 50% ditambah 1 tetapi harus melalui musyawarah untuk merumuskan sebuah keputusan dalam perspektif kepentingan bersama yang berkeadilan.
Walaupun zaman Hindia Belanda diawali dengan harapan - harapan besar mengenai keunggulan sistem liberal dalam meningkatkan perkembangan ekonomi kolonial sehingga menguntungkan kesejahteraan rakyat Belanda maupun rakyat Indonesia, namun pada akhir abad ke-19 sudah nyata bahwa rakyat Indonesia sendiri tidak mengalami tingkat kemakmuran yang lebih baik daripada masa yang lampau (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993 : 124).


B.     Kerjasama Luar Negeri Orde Baru
Mengingat kepentingan nasional makin mendesak, Indonesia merasa perlu secara aktif mengambil bagian dalam kegiatan badan-badan Internasional. Panitia musyawarah DPR-GR mengadakan rapat pada tanggal 13 Juni 1966 untuk membahas resolusi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebelum persidangan umum badan dunia itu dimulai pada tahun 1966. Sebagai dasar pertimbangan disebutkan bahwa selama menjadi anggota badan dunia itu sejak 1950-1964, Indonesia telah menarik banyak manfaatnya. Demikian setelah meninggalkan PBB sejak 1 Januari 1965, Indonesia kembali aktif di PBB pada tanggal 28 September 1966 dan mendapat dukunan penuh dari berbagai negara, seperti Aljazair, Jepang, Filipina, Pakistan, Mesir, Thailand, dan sebagainya. Selain itu Indonesia juga berusaha memulihkan kembali hubungannya dengan negara-negara lain yang sebagai akibat kebijakan politik Orde Lama telah menjadi renggang. Misalnya dengan India, Filipina, Thailand, Australia, dan negara-negara non-aligned di Asia, Afrika, dan Eropa. Sedang dalam organisasi-organisasi internasional yang bersifat non-govermental khususnya dalam rangka solidaritas Asia-Afrika seperti OISR, AA, PWAA Indonesia berusaha mengadakan pemurnian dalam asas-asas dan tujuan organisasi-organisasi tersebut, baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional.
Indonesia memainkan peranan lebih besar dalam panggung dunia, cocok dengan citra-diri rezim sebagai salah satu kesuksesan pembangunan dari apa yang disebut sebagai salah satu kesuksesan pembangunan dari apa yang disebut sebagai “Dunia Ketiga”. Pada tahun 1982 Soeharto melakukan kunjungan kenegaraan  ke Washington dan Tokyo, serta menerima beberapa kepala negara asing di Jakarta: Indira Gandhi dari India, Zia Ul-Haq dari Pakistan, dan Nicolae Ceaucescu dari rumania yang merupakan kepala negara komunis pertama yang mengunjungu rezim orde baru Soeharto. Pada tahun 1983, Perdana Menteri Jepang Nakasone Yosuhiro datang ke Jakarta dan berjanji untuk memberikan bantuan yang lebih besar dan membeli lebih banyak minyak.

Daftar Pustaka
Marwati Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta : Balai Pustaka

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI.  Jakarta: Balai Pustaka.

Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008. Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi.

http://www.bloggaul.com/martanto/readblog/100458/politik-pintu-terbuka-open-door-policy-tahun-1850-1870 diakses pada 26 Maret 2011

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar sahabat blogger sangat berguna bagi perkembangan artikel (post) pada blog ini :)

Gunakan kotak komentar atas untuk pengguna Facebook dan Gunakan kotak komentar bawah untuk blogger ^^V