Mental Pendidikan Indonesia: Perpekstif Tiga Dimensi Waktu

Penulis Toto Gutomo, pada 27 Mei 2011


 Pendididikan adalah suatu bentuk proses yang dijalani manusia secara sadar untuk menemukan jatidirinya, di dalamnya terdapat pembelajaran-pembelajaran dalam kehidupan. Dunia pendidikan Indonesia dewasa ini dianggap mengalami kemunduran dibidang mentalitas dan erat kaitannya dengan moralitas, secara tidak langsung pendidikan Indonesia mencetak penjahat-penjahat intelektual dalam jumlah yang cukup banyak, berbanding terbalik dengan dunia pendidika Indonesia masa kolonial hingga perjuangan kemerdekaan, semangat dan kesadaran nasionalis para pelaku di dunia pendidikan mulai berkurang, yang ada hanyalah usaha untuk pemenuhan standar tanpa memperdulikan proses pendidikan.
Belajar dari sejarah, pendidikan Indonesia haruslah menanamkan pendidikan karakter hingga nantinya membentuk mental-mental yang bertanggung jawab dalam proses pendidikan. Indonesia yang berjaya dalam pendidikan bukanlah mimpi jika usaha ini dapat diwujudkan secara menyeluruh pada pendidikan Indonesia dan disadarai secara penuh oleh pelaku-pelaku dunia pendidikan. Indonesia masa depan memiliki dua pilihan, terus seperti ini dengan mental-mental perusak bangsa atau mewujudkan suatu mental yang sadar pentingnya rasa nasionalis, bukan hanya usaha pemenuhan standar-standar namun juga memperhatikan proses pendidikan dengan serius.



 Berbicara tentang permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia tidak akan pernah ada habisnya, mengingat proses di dalam pendidikan sendiri terus berkembang dan problematika yang banyak bermunculan dengan latar belakangnya masing-masing. Dewasa ini, pendidikan selalu dituntut untuk memenuhi standar-standar yang ditetapkan pemerintah. Dengan standar ini diharapkan pendidikan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas hingga pada akhirnya dapat berguna bagi negara dan bangsa ini. Namun pehamanan tentang standar ini kerap disalahartikan sebagai sesuatu yang harus dicapai dengan cara apapun, tidak memandang apakah proses yang dijalani tersebut merupakan proses yang menyimpang dari tujuan pendidikan itu sendiri.   
Penyimpangan yang dimaksud disini adalah ketika pencapaian standar melalui proses yang “menghalalkan” cara apapun. Contoh nyata dapat dilihat pada pencapaian standar UAN dan pencapaian standar hasil ulangan kelas yang kerap terjadi kecurangan atau akal-akalan agar terlihat seperti memenuhi standar. Terlihat suatu mental para pelaku pendidikan Indonesia yang kurang memperhatikan proses pendidikan sebagai suatu yang sangat penting, selalu melihat standar sebagai tujuan akhir yang utama. Peserta didik sebagai subyek pendidikan, haruslah diperhatikan ke arah mana perkembangan, kalau terus memiliki mental seperti ini, dapat dipastikan bahwa ke depannya Indonesia hanya akan dipenuhi penjahat-penjahat intelektual dan menghasilkan koruptor yang akan menghacurkan bangsa dan negeri ini, sungguh ironis.
Seharusnya pendidikan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas yang akan membangun bangsanya bukan malah menghasilkan penjahat-penjahat intelektual dan koruptor. Sebenarnya masalah ini bisa dihindari jika semua pelaku dunia pendidikan Indonesia belajar dan memahami apa saja yang telah terjadi di dunia pendidikan Indonesia, hingga pada akhirnya mampu memprediksi apa yang akan terjadi selanjuitnya di negeri ini.
Memahami Pendidikan
Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, ya begitulah bahasa mudah untuk memahami pendidikan. Hanya manusia berpendidikan yang dianggap sebagai “manusia” seutuhnya, karena di dalam pendidikan itu sendiri manusia belajar tentang apa yang ada disekitar mereka, tentang apa yang ingin mereka ketahui, tentang sesuatu yang membuat mereka menjadi bijak, dan sebagainya. Menurut KBBI (2008), pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.
Selanjutnya menurut Redya Mudhayahardjo (2001) pendidikan memiliki dua arti, yakni pengertian maha luas dan pengertian sempit. Pada pengertian maha luas pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah pengalamana belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala situasi yang mempengaruhi pertumbuhan individu. Pengertian sempit, pendidikan adalah sekolah. Pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial mereka. Jadi, pendidikan dan segala proses yang ada di dalamnya adalah ditujukan pada manusia sebagai subyeknya selanjutnya dibentuk menjadi manusia yang diharapkan memiliki kemampuan-kemampuan tertentu dan memiliki kesadaran penuh terhadap hubungan dan tugas-tugas sosialnya.
Umur dunia pendidikan di Indonesia masih sangat muda jika dilihat dari pengertian pendidikan secara sempit, yakni pendidikan adalah sekolah. Pendidikan di negeri ini baru muncul pada masa konolial, mulai dari Portugis, Inggris, VOC, Hindia Belanda, Politik Etis. Selanjutnya pada masa berdirinya partai-partai nasional, hingga pendidikan itu “diserahkan” pada Indonesia untuk mengelolanya sendiri pada masa sesudah kemerdekaan Indonesia diraih.

Menengok Sejarah Pendidikan Indonesia
Pendidikan Indonesia tidak dapat dipungkiri merupakan hasil warisan dari kolonial, mereka adalah pedagang yang lambat laun berubah menjadi penjajah dengan alasan memerlukan lahan dan memiliki hak milik. Pentingnya pendidikan di Indonesia cukup diperhatikan oleh pemerintahan masa penjajahan, diawali dengan Portugis yang membuka beberapa sekolah masih terbatas hanya menyediakan pendidikan keagamaan kristen. Selanjutnya masa Interregum Inggris dimana mereka belum mampu memberikan sumbangan yang berarti di dunia pendidikan Indonesia. Sepeninggal Inggris, nasib Indonesia beralih kepada VOC.
Pada masa VOC, pendidikan mengalami kemunduran bahkan lebih menyedihkan lagi sebelum pemerintahan Belanda datang ke Nusantara, masyarakat sama sekali tidak diperhatikan pendidikannya. Setelah keruntuhan VOC, pemerintah Belanda membangun sekolah khusus bagi anak-anak Belanda, cukup ada peningkatan dibidang pendidikan, namun sama sekali belum menguntungkan masyarakat Indonesia, karena pendidikan terbatas hanya untuk anak-anak belanda. Keadaan ini terus berjalan hingga terbentuknya sekolah dimana anak masyarakat pribumi diperkenankan bersekolah. Meski begitu tetap ada pembatasan dengan syarat-syarat tertentu, mereka yang ingin bersekolah haruslah anak dari golongan priayi dan orang-orang terpandang. Lulusan sekolah dari anak pribumi akan diperkejakan sebagai pegawai rendahan dengan gaji yang sangat murah untuk kepentingan pemerintahan Belanda.
Sampai disini penulis melihat pendidikan Indonesia masih dalam  “masa kegelapan” dimana belum ada celah untuk anak pribumi secara luas dapat mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah pemerintah, meski mereka sangat menginginkannya. Keinginan anak-anak pribumi harus dipendam dan menunggu sesuatu perubahan pada pendidikan, meski awalnya mereka juga hanya mengiginkan iming-iming menjadi pegawai pemerintah.
Pendidikan bagi anak pribumi mulai diperhatikan setelah munculnya konsep politik etis yang diprakarsai oleh Van Deventeer, dimana salah satu isinya membahas tentang pendidikan untuk masyarakat pribumi. Politik etis Van Deventer juga dikenal sebagai Trilogi Van Deventer yang mencoba menyadarkan pemerintahan Belanda betapa pentingnya melakukan “balas budi” terhadap masyarakat pribumi yang selama ini dikeruk kekayaannya. Bentuk balas budi yang ditawarkan Van Deventer adalah 1) edukasi, 2) transmigrasi, dan 3) irigasi. Filterasi yang mulai melemah untuk bersekolah menghasilkan elite-elite baru penduduk pribumi yang kelak menjadi juru bicara nasionalisme Indonesia. Di masa Politik Etis ini, mulai terlihat bentuk nyata pendidikan pada masyarakat pribumi, dimana terciptanya kaum elite yang pro dengan Indonesia, memiliki mental yang mulai terbentuk untuk membela tanah air dengan penuh kesadaran.
Perkembangan selanjutnya adalah dibangunnya sekolah-sekolah untuk anak Indonesia sekitar tahun 1892, sekolah-sekolah ini juga dibangun di luar jawa dan melebihi jumlah sekolah di pulau jawa. Meski sekolah ini menjadi peluang emas, ternyata ada maksud dibalik dari pendirian sekolah-sekolah ini, pihak pemerintah menginginkan adanya pemisahan sekolah anak pribumi dengan anak-anak belanda. Begitu juga dengan keluarannya, anak pribumi diperkejakan sebagai pegawai rendahan, sedang anak-anak Belanda bebas melanjutkan pendidikannya hingga ke negerinya. Wujud deskriminasi pendidikan ini terlihat jelas dengan adanya sekolah kelas satu (khusus anak belanda) dan sekolah kelas dua (khusus anak pribumi), dimana sekolah kelas dua memiliki kurikulum yang sederhana dan dijaga agar tetap lebih rendah dari kelas satu. Walaupun begitu, anak pribumi terus berusaha mengenyam pendidikan, terlihat mental yang kuat dan semangat untuk mengembangkan diri. Perkembangan pesat dunia  pendidikan Indonesia terjadi setelahnya, yakni ketika pemerintah membangun sekolah desa dimana meningkatnya jumlah masyarakat melek huruf  hingga ke desa-desa kecil. Antusias masyarakat ini mencerminkan betapa hausnya masyarakat akan pendidikan, mereka memiliki keinginan yang mendalam untuk mengembangkan diri dengan penuh kesadaran. Kesadaran akan pentingnya tujuan pendidikan mulai terlihat jelas disini, diiringi dengan mental-mental yang haus akan ilmu pengetahuan walau masih terbatas pada kemampuan membaca dan menulis.
Pada 1907 muncul pendidikan tinggi di Indonesia yang dibagi menjadi tiga; 1) Europese Lagere School (ELS, untuk anak-anak Belanda), Hollands Chinese School (HCS, untuk anak-anak China), dan Hollands Inlandse School (HIS, untuk anak-anak Indonesia). Sekali lagi, ini bentuk nyata dari deskriminasi dan penuh dengan kepentingan Belanda. Lambat laun pendidikan terus berkembang, membawa angin segar bagi masyarakat Indonesia, sebagain dari anak pribumi telah mampu mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi bahkan sebagian melanjutkan pendidikannya ke Belanda. Kebijakan kolonial yang menekan pendidikan anak pribumi tak dapat diterapkan secara ketat lagi, mengingat antusias anak pribumi yang kuat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Muncul kaum intelek-intelek dari kalangan pemuda pribumi yang nasionalis dan menginginkan kemerdekaan di Indonesia, bermunculan organisasi-organisasi nasional sebagai wadah bersama penduduk pribumi. Sebut saja Budi Utomo, Sarekat Islam, Partai Nasional Indonesia, dan lain-lain. Semua organsisasi ini diprakarsasi oleh kaum intelektual yang secara langsung maupun tidak adalah didikan Belanda. Sebuah peluang bagi dunia pendidikan Indonesia agar terus bangkit dengan dukungan dari kaum nasionalis. Perkembangan selanjutnya muncul tiga tokoh yang berperan penting dalam sejarah pendidikan Indonesia, mereka adalah Ahmad Dahlan Pendiri Pendidikan Muhammadiyah (1912), Ki Hajar Dewantara Pendiri Taman Siswa (1922), dan Moh Syati Pendiri Indonesisch Nederlandse School (1926). Dengan inisiatif pendiri dan dukungan dari semua pihak membuahkan kemajuan pendidikan yang sangat pesat dalam kurun waktu ini. Dunia pendidikan mengalami gejolakan berbending lurus dengan gejolak politik, khususnya dalam upaya kemerdekaan Indonesia hingga mengalami kestabilan pada masa setelah merebut kemerdekaan dan memasuki pemerintahan orde lama. Namun hal ini kurang berkembang setelah masa orde lama, konon pemerintahan yang baru disibukkan dengan pembangunan nasional dan pemerataan dibidang ekonomi.
Masa orde lama berlalu begitu saja digantikan dengan rezim orde baru, dimana pemerintah sangat kuat, dengan keadaan politik, sosial, dan ekonomi yang stabil pendidikan tumbuh bersama dengan faktor-faktor lain. Namun pemuda Indonesia merasa tertekan dengan kebijaan-kebijakan pemerintah yang dianggap sangat otoriter. Terlihat antara pemerintah dan “dunia pendidikan” mengalami konflik meski sebenarnya yang terjadi adalah konflik politik.
Ketika orde baru runtuh dan muncul era reformasi, dalam dunia pendidikan sendiri yang “bereformasi” hanya sebatas pada kebebasan berkreasi dan mengajukan pendapat. Disisi lain, standar pendidikan ditetapkan dengan pelaksanaan yang kurang diperhatikan, pemerintah yang kurang kuat menciptakan pola pendidikan yang kacau. Disini mulai muncul mental-mental penjahat intelektual, karena kelemahan pemerintah dan kurangnya kesadaran semangat berbangsa (nasionalisme) oleh masyarakat Indonesia. Hal ini terus kita temui hingga hari ini, banyak standar-standar yang ditetapkan yang sebenarnya menginginkan kemajuan dalam dunia pendidikan dengan dipenuhinya standar-standar, namun dalam pelaksanaannya kurang diperhatikan, banyak sekali kecurangan.

Pendidikan Indonesia Sekarang
Pendidikan Indonesia sekarang memiliki banyak tuntutan yang harus dipenuhi, tanpa perhatian proses dari pencapaian tujuan maka banyak bermunculan pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab, terjadi banyak kecurangan. Sungguh mental-mental perusak bangsa. Sebut saja UAN yang memiliki standar Nasional dalam pelaksanaannnya tidak sedikit terjadi kecurangan, 1) dari pihak peserta didik yang memang belum atau tidak siap dalam menghadapi UAN khususnya pada peserta didik yang memang sudah ketergantungan dengan orang lain atau memang sudah memiliki bocoran dari hasil membeli maupun bocoran dari pihak sekolah / guru, 2) guru yang menginginkan siswanya mendapatkan kelulusan juga bisa melakukan apasaja termasukmembantu menjawabkan soal-soal UAN, 3) tenaga kependidikan yang membocorkan soal UAN entah dengan alasan “mulia” yang memiliki misi meningkatkan jumlah kelulusan siswa hingga mereka yang memang memanfaatkan situasi untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan menjual kunci jawaban. Sungguh memalukan, kita bekerjasama menghancurkan bangsa ini dengan membentuk mental-mental penjahat intelektual. Hemat penulis, jika ingin memenuhi standar terlebih dahulu bentuklah karakter dan mental-mental yang bertanggung jawab dari peserta didik.
Contoh lain yang dapat ditemui hampir pada setiap jenjang pendidikan adalah kebiasaan menyontek pada saat ulangan/ujian, yang sebenarnya tidak mungkin terjadi jika peserta didik memiliki mental ingin memajukan bangsa. Setidaknya hal ini bisa dicegah oleh pendidik kreatif yang mampu menyiasati kelas sehingga hal ini tidak terjadi, misalnya dengan pemilihan soal yang berbeda pada setiap murid, atau membuat soal essay. Pemberian soal yang melebihi kemampuan siswa dan pengawasan yang kurang memang “memaksa” siswa memiliki inisiatif untuk menyontek atau melakukan kecurangan, masih sekolah mencontek besarnya mau jadi koruptor? Pendidik haruslah mendedikasikan dengan sungguh-sungguh dirinya untuk menanggapi masalah ini.

Analisis SWOT
Pendidikan Indonesia sebenarnya memiliki kekuatan, yakni jumlah sumber daya manusia yang banyak, yang bisa dijadikan sumber daya yang bermutu yang berguna bagi bangsa ini. banyaknya minat masuk perguruan tinggi, khususnya pada fakultas keguruan dan ilmu pendidikan atau sekolah tinggi keguruan dan ilmu pendidikan seharusnya banyak mencetak sumber daya yang kompeten di bidang pendidikan.
Hambatan yang muncul adalah kurang perhatiannya dunia pendidikan oleh pemerintah dan pihak-pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan khususnya pada prosesnya. Hanya mengandalkan pemenuhan standar tanpa memperhatikan proses akan banyak membentuk mental-mental penyontek peserta didik. Padahal mereka adalah harapan bangsa untuk masa depan.
Peluang yang dimiliki Indonesia adalah kesadaran dari semua pihak yang berperan dalam dunia pendidikan, kebijakan pemerintah sangat menentukan, selain itu dalam pelaksanaannya, dinas pendidikan, hingga guru harus menyadari pentingnya suatu proses pendidikan jangan sampai membentuk mental yang buruk dalam dunia pendidikan Indonesia. Belajar dari sejarah, mengeyam pendidikan membutuhkan usaha yang keras untuk menggapai hasil yang memuaskan. Pendidikan karakter perlu dilakukan untuk membentuk mental-mental nasionalis, atmosfer ini akan tumbuh pada masyarakat yang malu jika menyontek, selanjutnya memberi timbal balik pada lingkungan yang sadar akan pentingnya suatu proses pendidikan. Dukungan dari orang tua juga diperlukan, khususnya pada pembentukan moral-moral yang baik sebagai orang yang paling dekat dengan peserta didik hal ini dianggap mampu dilaksanakan oleh orang tua.
Tantangan dalam pelaksanaannya adalah ketika pemerintah, masyarakat, dan orang tua disibukkan dengan urusan ekonomi, maka pendidikan kurang diperhatikan. Terdapat dua pilihan besar antara memerangi kebodohan dan stabilitas ekonomi ditambah lagi dengan menaggapi dan merubah pola pikir dan kurangnya kesadaran akan pentingnya suatu proses pendidikan, bukan hanya terbatas pada pentingnya pencapaian suatu standar pendidikan.

Mental Pendidikan Indonesia Masa Depan
Pendekatan sejarah dalam suatu kajian masalah mampu menjadi pembelajaran yang paling baik bagi penerapannya pada masa sekarang, dengan sejarah pula kita mampu memprediksi apa yang akan terjadi dimasa depan. Diawali dengan perjuangan yang sangat keras dimasa kolonial, pendidikan Indonesia mengalami perkembangan dan memiliki semangat dan mental-mental nasionalis yang membangun bangsa, dewasa ini mental-mental ini mulai luntur dan banyak tercetak penjahat-penjahat intelektual.
Masa depan Indonesia bukan ditangan mereka pelaku sejarah yang dianggap berhasil membentuk mental nasionalis, melainkan ditangan pihak-pihak yang berkecimpung didunia pendidikan Indonesia saat ini. Akankah terus mencetak penjahat-penjahat intelektual atau akan membentuk mental-mental yang sadar akan pentingnya suatu proses pendidikan bukan hanya terpatok pada pemenuhan standar. Indonesia akan terus seperti ini jika kesadaran nasionalis belum muncul, pendidikan Indonesia akan terpuruk dengan mental-mental yang kurang memperhatikan moralitas. Sebaliknya Indonesia memiliki masa depan pendidikan yang cerah jika timbul kesadaran penuh serta dukungan dari berbagai pihak, pemerintah sebagai penentu kebijakan, dinas pendidikan, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan sebagai pelaksanaan teknis yang profesional, dan masyarakat sebagai lingkungan pendukung. Selanjutnya hanya menunggu jawaban dari dua pilihan ini.


Daftar Bacaan


Conny R. Semiawan. 2005. Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 

Made Pidarta. 2007. Landasan Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

Redja Mudyahardjo. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

S. Nasution. 1995. Sejarah Pendidikan Indonesia. Bandung: Sinar Grafika Offset

SK. Kochhar. 2008. Pembelajaran Sejarah (Teaching of History). Jakarta: PT. Grasindo  

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar sahabat blogger sangat berguna bagi perkembangan artikel (post) pada blog ini :)

Gunakan kotak komentar atas untuk pengguna Facebook dan Gunakan kotak komentar bawah untuk blogger ^^V