Basah tak terasa olehku, hingga dingin bangunkan dari alam bawah sadar”
Terpaksa singgah
dan berteduh di PAUD tempat keponakan yang ingin saya jemput, tidak seperti
biasa kalau jemput langsung antar ke rumahnya, sebenarnya bukan keponakan, Lala
(4thn) namanya, anak dari pemilik rental komputer dan pengetikan dimana tempat
saya mencari receh uang jajan. Hari ini saya dapat jadwal menjemputnya.
Lala |
Kreek, pintu terbuka dan saya dipersilahkan
menunggu (berteduh) di dalam oleh bu guru dengan senyum khas “guru PAUD”, lha wong setiap hari bertemu dengan
anak-anak yang kecil-kecil dan imut-imut, ya harus senyum dong. Masuk saya ke
dalam, dan mendapati kelas masih ramai mungkin karena hujan, beberapa anak
belum dijemput orang tuanya.
Saya mencoba
memasang wajah penuh senyum dan duduk di tempat yang disediakan. Tak lama saya
duduk, datang seorang anak kecil perempuan imut, polos, tanpa rasa takut duduk
di sebelah saya, mungkin kalau dia bersayap tak ubahnya seperti peri kecil dicerita-cerita
dongeng.
Yap! Disini saya simpulkan kalau kita memasang wajah yang “bersahabat”, mereka tak akan sungkan dengan kita selaras dengan pesan Ibu Nana, seorang kepala TK di Banjarmasin yang bercerita kepada saya tentang pentingnya wajah ramah dalam mengajar. Begitu juga guru-guru di jenjang pendidikan yang lain (sekolah dasar dan menengah), kalau ngajar MUSTI ramah, pasang tampang yang friendly donk ah! Agar suana kelas nyaman dan tanpa ada rasa sungkan apalagi takut di antara kita.
Yap! Disini saya simpulkan kalau kita memasang wajah yang “bersahabat”, mereka tak akan sungkan dengan kita selaras dengan pesan Ibu Nana, seorang kepala TK di Banjarmasin yang bercerita kepada saya tentang pentingnya wajah ramah dalam mengajar. Begitu juga guru-guru di jenjang pendidikan yang lain (sekolah dasar dan menengah), kalau ngajar MUSTI ramah, pasang tampang yang friendly donk ah! Agar suana kelas nyaman dan tanpa ada rasa sungkan apalagi takut di antara kita.
Saya lanjutkan
dengan “berwisata” mata, melihat sekeliling.. benar-benar terasa dunia
anak-anak, disana-sini bertaburan pernak-pernik yang penuh warna, mungkin semua
warna pelangi hadir disini, MeJiKuHiBiNiU.. atau bahkan lebih banyak lagi warna
yang lain, potongan kertas nila dengan bentuk bintang, bunga, pemandangan,
gambar poster hewan, pola huruf, cat dinding dengan berbagai warna, hingga alas
dimana mereka berpijak pun penuh warna-warni dan ada pola hurufnya. Mereka nampak
senang, sungguh atmosfer yang sangat sesuai dengan pembelajaran sambil bermain ini. Teringat sebuah
tawaran konsep kelas untuk mata pelajaran Sejarah oleh S.K Kochar dalam bukunya
Pembelajaran Sejarah yang
menggambarkan dimana kelas sejarah se rame
museum, dilengkapi dengan media dan tekhnologi yang mendukung, peta,
gambar-gambar bersejarah, dan benda-benda miniatur/replika lainnya, sepertinya
mas Kochar mencoba mengajukan sebuah konsep moving
class, jadi ketika siswa belajar Sejarah maka akan masuk ke kelas Sejarah dimana
atmosfer sejarahnya Kerasa Bangetz,
begitu juga dengan mata pelajaran lain (moving
class: kelas berpindah, jadi siswa yang berpindah ketika mata pelajaran
berganti, seperti gambaran pendidikan di Singapura yang saya baca di Blognya
pak Munif Chatib).
Yawdah, jangan
dulu bermimpi tentang realisasi konsep moving
class seperti ini, tilik saja kelas-kelas sekarang, boro-boro muncul atmosfer yang nyaman, yang ada malah gurunya
membuat atmosfer yang gak enak banget deh,
membuat siswa berbicara sendiri, smsan, melamun, hingga tertidur. Sebenarnya bukan
sepenuhnya salah siswa lho, kan gurunya juga yang kurang pandai (maaf) membuat
atmosfer belajar yang nyaman, meski ada kalanya siswa tenang itupun karena
merasa terancam/takut bukan karena atmosfer yang nyaman untuk belajar.
Belum selesai
saya mengenang suasana kelas di kebanyakan sekolah kita sekarang ini, terdengar
suara merdu guru menyanyikan sebuah lagu, anak-anak yang tadinya berlari-larian
(susah ditegur, dan sering kita anggap nakal) berdiam sejenak mendengarkan lagu
sang guru, menghayati lirik, kata demi kata hingga mereka mengerti lagu apa
yang dinyanyikan sang guru, mereka tersenyum dan tertawa kecil, tak terasa
sebagian menari-nari dengan iramanya masing-masing, guru tak perlu repot-repot
menegur mereka yang tadinya berlarian, apalagi sampai memarahinya. Mereka berlari-lari
tadi rupanya karena kurang perhatian dari sang guru, yup! Seperti anak yang tidur
di kelas, biasanya duduk paling belakang yang guru “tak sempat” untuk memberikan
perhatian kepadanya. Kebanyakan guru memang hanya mengajar sebagian dari siswa
di kelasnya, tidak seluruhnya! Menurut mba Anita Moultrie Turner dalam bukunya Resep pengajaran hebat: 11 bahan utama yang
merupakan edisi terjemahan dari Recipe
for Great Teaching : 11Essential Ingredients (2007)
“Banyak guru hanya mengajar 5 – 10 anak di kelas mereka bukannya 25
atau 30! 20 atau lebih siswa duduk bermalasan dengan gelombang otak menunjukkan
kecapaian akademik... tidak mendengar banyak hal yang didiskusikan karena anak
jarang dilibatkan dalam partisipasi. Akan tetapi, guru hebat mengajar seluruh
kelas. Ketika melaksanakan diskusi atau menyampaikan informasi, mintalah umpan
balik dari tiap orang di kelas.”
Sayangnya tidak
semunya guru menyadari hal ini dan mulai memperhatikan seluruh siswanya dalam
kelas.
Kembali ke
kelas di PAUD, guru yang sudah lelah bernyanyi menyebabkan anak-anak hendak
berlarian lagi, mulai sedikit gaduh. Plap! TV menyala, sebuah film animasi edukasi
yang didedikasikan untuk anak balita diputar. Kembali anak-anak duduk dengan
tenang, hening, senyum kecil menghiasi wajah mereka. Penggunaan media yang pas
sekali menurut saya, pas dan cerdas.
“Rintik hujan mulai lelah, langit tunjukkan
wajah cerah
Aku berkata pada sang hujan, izinkan ku
pergi
Matahari mengintip, ku bawa Lala pulang
Terimakasih PAUD, untuk semuanya...”
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar sahabat blogger sangat berguna bagi perkembangan artikel (post) pada blog ini :)
Gunakan kotak komentar atas untuk pengguna Facebook dan Gunakan kotak komentar bawah untuk blogger ^^V