Ekonomi Indonesia Sekitar 1948-1965: Nasionaliasi Perekonomian Bekas Kolonial

Penulis Toto Gutomo, pada 6 Nov 2011



Gambaran Umum Ekonomi Indonesia Pada Tahun 1958-1965
Secara garis besar pada periode ini negara melakukan nasionalisasi terhadap ekonomi kolonial yang runtuh, dan melakukan mediasi (perantaraan) dalam kemelut pertentangan yang semakin sengit antara persekutuan sosial-politik yang bertujuan revolusi sosial di satu pihak, dengan persekutuan yang bertujuan membangkitkan kembali kapitalisme di lain pihak. Periode ini berakhir dengan kemenangan kekuatan-kekuatan kapitalis dan kalahnya kekuatan revolusi sosial.
Terlepas dari sejarah yang akan menceritakan keadaan yang sesungguhnya pernah terjadi di Indonesia, maka menurut UUD’45, sistem perekonomian tercermin dalam pasal-pasal 23, 27, 33, dan 34.Demokrasi Ekonomi dipilih, karena memiliki ciri-ciri positif yang diantaranya adalah ( Suroso, 1993 ) :
         Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan
         Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara
         Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
         Sumber-sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan dengan permufakatan lembaga -lembaga perwakilan rakyat, serta pengawasan terhadap kebijaksanaannya ada pada lembaga-lembaga perwakilan pula Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak
         Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
 Potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara dikembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum, Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara. Dengan demikian di dalam perekonomian Indonesia tidak mengijinkan adanya :
 Free fíht liberalism yakni adanya kebebasan usaha yang tidak terkendali sehingga memungkinkan terjadinya eksploitasi kaum ekonomi yang lemah, dengan akibat semakin bertambah luasnya jurang pemisah si kaya dan si miskin. Etatisme . yakni keikut sertaan pemerintah yang terlalu dominan semingga mematikan motifasi dan kreasi dari masyarakat untuk merkembang dan bersaing secara sehat.
 Monopoli . suatu bentuk pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok tertentu, sehingga tidak memberikan pilihan lain pada konsumen untuk tidak mengikuti ‘keinginan sang monopoli’. Meskipun pada awal perkembangannya perekonomian Indonesia menganut sistem ekonomi Pancasila. Ekonomi Demokrasi, dan ‘mungkin campuran’, namun bukan berarti sistem perekonomian liberalis dan etatisme tidak pernah terjadi di Indonesia. Awal tahun 1950-an sampai dengan tahun 1957-an merupakan bukti sejarah adanya corak liberalis dalam perekonomian Indonesia. Demikian juga dengan sistem etatisme, pernah juga mewarnai corak perekonomian di tahu 1960-an sampai dengan masa orde baru. Keadaan ekonomi Indonesia antara tahun 1950 sampai dengan tahun 1965-an sebenarnya telah diisi dengan beberapa program dan rencana ekonomi pemerintah. Diantara progran-program tersebut adalah :
·         Program Banteng tahun 1950, yang bertujuan membantu pengusaha pribumi
·         Program / Sumitro Plan tahun 1951
·         Rencana Lima Tahun Pertama, tahun 1955 -1960
·         Rencana Delapan Tahun
 Namun demikian kesemua program dan rencana tersebut tidak memberikan hasil yang berarti bagi perekonomian Indonesia. Beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan adalah :
 Program-program tersebut disusun oleh tokoh-tokoh yang relatif bukan bidangnya, namun oleh tokoh politik, dengan demikian keputusan-keputusan yang dibuat cenderung menitik beratkan pada masalah politik,dan bukannya masalah ekonomi. Hal ini dapat dimengerti mengingat pada masa-masa ini kepentingan politik tampak lebih dominan, seperti mengembalikan negara Indonesia ke negara kesatuan, usaha mengembalikan Irian Barat, menumpas pemberontakan di daerah-daerah, dan masalah politik sejenisnya. Akibat lanjut dari keadaan di atas, dana negara yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan kegiatan ekonomi, justru dialokasikan untuk kepentingan politik dan perang.Faktor berikutnya adalah, terlalu pendeknya masa kerja setiap cabinet yang dibentuk ( sistem parlementer saat itu ). Tercatat tidak kurang dari 13 kali kabinet berganti saat itu. Akibatnya program-program dan rencana ekonomi yang telah disusun masing-masing kabinet tidak dapat dijalankan dengan tuntas, kalau tidak ingin disebut tidak sempat berjalan. Disamping itu program dan rencana yang disusun kurang memperhatikan potensi dan aspirasi dari berbagai pihak. Disamping kutusan individu/pribadi, dan partai lebih dominan dari pada kepentingan pemerintah dan negara. Adanya kecenderungan terpengaruh untuk menggunakan sistem perekonomian yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia (liberalis, 1950 -1957 ) dan etatisme ( 1958 -1965 )
 Akibat yang ditimbulkan dari sitem etatisme yang pernah ‘terjadi’ di Indonesia pada periode tersebut dapat dilihat pada bukti-bukti berikut :
·         Semakin rusaknya sarana-sarana produksi dan komunikasi, yang membawa dampak menurunnya nilai eksport kita.
·         Hutang luar negeri yang justru dipergunakan untuk proyek ‘Mercu Suar’
·         Defisit anggaran negara yang makin besar, dan justru ditutup dengan mencetak uang baru, sehingga inflasi yang tinggi tidak dapat dicegah kembali.
·         Keadaan tersebut masih diperparanh dengan laju pertumbuhan penduduk ( 2,8 % ) yang lebih besar dari laju pertumbuhan ekonomi saat itu, yakni sebesar 2,2 %.

Upaya Nasionalisasi Negara Indonesia Terhadap Ekonomi Bekas Kolonial yang Runtuh
Pengambil-alihan ekonomi kolonial mulai sejak 1957 dengan upaya serikat kerja yang secara sepihak memantapkan kendali atas perusahaan-perusahaan Belanda. Perkembangan ini menjadi isyarat bagi kalangan militer dan mereka bergera mengambil-alih kendali perusahaan-perusahaan Belanda serta memulai mendominasdi atas sektor eperusahaan negara yang lahir dari kepentingan-kepentingan Belanda yang disita.
 Dilatar-belakangi nasionalisasi dan tantangan pemberontakan daerah, Presiden Sukaaarno menghapuskanm pemerintahan partai dan memantapkan suatu bentuk kekuasaan yang populis dan totaliter, melalui koalisi yang goyah dan sulit antara kekuatan-kekuatan nasional, termasuk PKI dan militer bersama dengan borjuasi pribumi yang dulu berharap memasuki kepentingan permodalan Belanda. Namun, anasionalisme ekonomi ternyata mengambil bentuk kapitalisme negara. Sampai derajat tertentu, kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikenal sebagai "Ekonomi Terpimpin" memang telah membuka peluang bagi perkembangan modal industri nasional, baik oleh negara maupun swasta. Banyak upaya dilakukan untuk memaksakan investasi domestik beralih dari impor ke industri. Impor-impor komoditi yang potensial bisa digarap di Indonesia, dibatasi. Program-program skala besar untuk meminjam uang dari luar negeri dijalankan dalam rangka menciptakan industri nasional dalam produksi baja dan pemubatan kapal. Dengan kredit, kontrak, dan hak monopoli dari negara, beberapa kelompok bisnis swasta pribumi dan perusahaan-perusahaan negara berhasil melangkah ke dalam usaha manufaktur.
 Tetapi eksperimen Sukarno untuk mewujudkan suatu perekonomian industrial nasional gagal karena berbagai sebab, yang terpenting diantaranya ialah karena tak ada suatu borjuasi nasional (baik pribumi maupun Tionghoa) yang mampu menyediakan basis bagi akumulasi, organisasi korporasi, manajemen, dan keahlian teknis. Sukarno tidak menguasai struktur partai dengan koherensi ideologi atau disiplin politik dan organisasi politik di tingkat massa untuk bisa menjalankan organisasi sosial, perencanaan ekonomi, dan manajemen yang mutlak bagi transformasi yang mendasar itu. Sebaliknya, ia terpaksa membagikan kontrol atas kapitalisme negara ke-pada para pejabat sipil dan militer yang memandang perusaahaan dagang negara yang baru dan wewenang negara untuk mengatur perdaga-ngan dan industri terutama sebagai sarana yang lebih efektif untuk memperoleh kontrol atas sistem distribusi. Mereka lebih memu-satkan diri pada pengumpulan upeti daripada usaha akumulasi modal. Akibatnya Ekonomi Terpimpin hanya sedikit lebih dari pengambilan-alihan oleh faksi politiko-militer kontrol atas akses ke perdagangan dan produksi yang ditegakkan dalam perekonomian kolonial yang ada.
 Tanpa aparatus negara atau borjuasi nsional yang mampu menyediakan basis kokoh untuk akumulasi dan manajemen untuk meng-gantikan Belanda, perekonomian Indonesia mulai berantakan. Hal ini sudah tampak sejak 1963 ketika negara mulai memediasi pengunduran dari tujuan-tujuan yang lebih ketat perekonomian terencana yang didominasi negara. Tetapi proses disintegrasi ekonomi berjalan maju terus tanpa bisa dicegah. Inflasi dengan cepat membumbung sampai lebih dari 600%, arus impor barang konsumsi dan suku cadang terhenti sedang prasarana ekonomi kacau dan berantakan. Pendapatan ekspor dari perkebunan merossot karena produksi perkebunan ini terrkena akibat dari rendahnya pemeliharaan dan investasi serta buruknya manajemen. Kehancuran berkeping-keping ini sangat berpengaruh pada unsur-unsur masyarakat yang paling terpadu dalam struktur-struktur enclace produksi dan impor komoditi yang dulu dikuasai oleh Belanda: para pejabat, negara, kelas-kelas menengah kota dan borjuasi pedagang domestik. Bagi orang-orang ini dan bagi kaum militer, solusinya semakin jelas terletak pada pembangunan kembali perekonomian kapitalis dan masuknya kembali modal asing sebagai basis bagi akumulasi. Oleh sebab kontradiksi sosial-politik yang timbul pada masa itu, penghancuran negara Sukarnois dan penyatuan kembali de-ngan perekonomian kapitalis dunia semakin mendesak bagi kaum militer, para pejabat negara, borjuasi pedagang dan kelas-kelas mene-ngah kota. Ancaman ini pada pokoknya datang dari PKI dan organisasi buruh dan taninya. Kekuatan-kekuatan rakyat yang turut serta dalam persekutuan nasional yang goyah ini melihat perobahan sosial mendasar sebagai komponen yang diperlukan demi nasionalisme ekonomi dan mulai melancarkan aksi-aksi sosial dan politik. Di pedalaman pertarungan memperebutkan tanah melahirkan ancaman yang semakin meningkat bagi kelas-kelas pemilik tanah terutama Muslim.16 Setelah kudeta militer 1965, negara Orde Baru yang terdiri dari kepentingan-kepentingan persekutuan militer, mahasiswa, kelas-kelas menengah kota, borjuasi pedagang pribumi, dan tuan tanah mulai melancarkan penyingkiran basis sosial dan politik perlawanan terhadap kontra-revolusi. Kelemahan politik Sukarno, PKI dan kekuatan-kekuatan lain yang mendukung nasionalisme ekonomi terungkap oleh kenyataan langkanya perlawanan terorganisir terhadap pembantaian massal, pembersihan dan pemenjaraan besar-besaran yang menghabisi kekuatan mereka pada 1965 dan 1966.

Daftar Rujukan
Amelia. 2011. Sejarah Ekonomi Indonesia. (online) diakses pada 3 Agustus 2011 http://amel-lia90.blogspot.com

Kuswanto. 2011. Sejarah dan Sistem Ekonomi Indonesia. (online) diakses pada 3 Agustus 2011. http://kuswanto.staff.gunadarma.ac.id

Nia Fandany. 2011. Perkembangan Ekonomi. (online) diakses pada 3 Agustus 2011. http://niafandany.blogspot.com

Ungguh Rekso. 2011. Perekonomian Indonesia Pada Tahun 1965. (online) diakses pada 3 Agustus 2011. http://ungguh-rexso.blogspot.com

_____. 2010. Tantangan Indonesia Terhadap Kolonial. (online) diakses pada 3 Agustus 2011. http://id.shvoong.com

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar sahabat blogger sangat berguna bagi perkembangan artikel (post) pada blog ini :)

Gunakan kotak komentar atas untuk pengguna Facebook dan Gunakan kotak komentar bawah untuk blogger ^^V