Gambaran Umum Ekonomi Indonesia Pada Tahun 1958-1965
Secara garis besar pada periode ini negara
melakukan nasionalisasi terhadap ekonomi kolonial yang runtuh, dan melakukan
mediasi (perantaraan) dalam kemelut pertentangan yang semakin sengit antara
persekutuan sosial-politik yang bertujuan revolusi sosial di satu pihak, dengan
persekutuan yang bertujuan membangkitkan kembali kapitalisme di lain pihak.
Periode ini berakhir dengan kemenangan kekuatan-kekuatan kapitalis dan kalahnya
kekuatan revolusi sosial.
Terlepas dari sejarah yang akan menceritakan
keadaan yang sesungguhnya pernah terjadi di Indonesia, maka menurut UUD’45,
sistem perekonomian tercermin dalam pasal-pasal 23, 27, 33, dan 34.Demokrasi
Ekonomi dipilih, karena memiliki ciri-ciri positif yang diantaranya adalah (
Suroso, 1993 ) :
•
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan
•
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara
•
Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat
•
Sumber-sumber kekayaan dan keuangan negara
digunakan dengan permufakatan lembaga -lembaga perwakilan rakyat, serta
pengawasan terhadap kebijaksanaannya ada pada lembaga-lembaga perwakilan pula
Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta
mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak
•
Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
Potensi,
inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara dikembangkan sepenuhnya dalam
batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum, Fakir miskin dan anak-anak
yang terlantar dipelihara oleh Negara. Dengan demikian di dalam perekonomian
Indonesia tidak mengijinkan adanya :
Free fíht
liberalism yakni adanya kebebasan usaha yang tidak terkendali sehingga
memungkinkan terjadinya eksploitasi kaum ekonomi yang lemah, dengan akibat
semakin bertambah luasnya jurang pemisah si kaya dan si miskin. Etatisme .
yakni keikut sertaan pemerintah yang terlalu dominan semingga mematikan
motifasi dan kreasi dari masyarakat untuk merkembang dan bersaing secara sehat.
Monopoli .
suatu bentuk pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok tertentu, sehingga
tidak memberikan pilihan lain pada konsumen untuk tidak mengikuti ‘keinginan
sang monopoli’. Meskipun pada awal perkembangannya perekonomian Indonesia
menganut sistem ekonomi Pancasila. Ekonomi Demokrasi, dan ‘mungkin campuran’,
namun bukan berarti sistem perekonomian liberalis dan etatisme tidak pernah
terjadi di Indonesia. Awal tahun 1950-an sampai dengan tahun 1957-an merupakan
bukti sejarah adanya corak liberalis dalam perekonomian Indonesia. Demikian
juga dengan sistem etatisme, pernah juga mewarnai corak perekonomian di tahu
1960-an sampai dengan masa orde baru. Keadaan ekonomi Indonesia antara tahun
1950 sampai dengan tahun 1965-an sebenarnya telah diisi dengan beberapa program
dan rencana ekonomi pemerintah. Diantara progran-program tersebut adalah :
·
Program Banteng tahun 1950, yang bertujuan
membantu pengusaha pribumi
·
Program / Sumitro Plan tahun 1951
·
Rencana Lima Tahun Pertama, tahun 1955 -1960
·
Rencana Delapan Tahun
Namun
demikian kesemua program dan rencana tersebut tidak memberikan hasil yang
berarti bagi perekonomian Indonesia. Beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan
adalah :
Program-program tersebut disusun oleh
tokoh-tokoh yang relatif bukan bidangnya, namun oleh tokoh politik, dengan
demikian keputusan-keputusan yang dibuat cenderung menitik beratkan pada
masalah politik,dan bukannya masalah ekonomi. Hal ini dapat dimengerti
mengingat pada masa-masa ini kepentingan politik tampak lebih dominan, seperti
mengembalikan negara Indonesia ke negara kesatuan, usaha mengembalikan Irian
Barat, menumpas pemberontakan di daerah-daerah, dan masalah politik sejenisnya.
Akibat lanjut dari keadaan di atas, dana negara yang seharusnya dialokasikan
untuk kepentingan kegiatan ekonomi, justru dialokasikan untuk kepentingan
politik dan perang.Faktor berikutnya adalah, terlalu pendeknya masa kerja
setiap cabinet yang dibentuk ( sistem parlementer saat itu ). Tercatat tidak
kurang dari 13 kali kabinet berganti saat itu. Akibatnya program-program dan
rencana ekonomi yang telah disusun masing-masing kabinet tidak dapat dijalankan
dengan tuntas, kalau tidak ingin disebut tidak sempat berjalan. Disamping itu
program dan rencana yang disusun kurang memperhatikan potensi dan aspirasi dari
berbagai pihak. Disamping kutusan individu/pribadi, dan partai lebih dominan
dari pada kepentingan pemerintah dan negara. Adanya kecenderungan terpengaruh
untuk menggunakan sistem perekonomian yang tidak sesuai dengan kondisi
masyarakat Indonesia (liberalis, 1950 -1957 ) dan etatisme ( 1958 -1965 )
Akibat yang
ditimbulkan dari sitem etatisme yang pernah ‘terjadi’ di Indonesia pada periode
tersebut dapat dilihat pada bukti-bukti berikut :
·
Semakin rusaknya sarana-sarana produksi dan
komunikasi, yang membawa dampak menurunnya nilai eksport kita.
·
Hutang luar negeri yang justru dipergunakan untuk
proyek ‘Mercu Suar’
·
Defisit anggaran negara yang makin besar, dan
justru ditutup dengan mencetak uang baru, sehingga inflasi yang tinggi tidak
dapat dicegah kembali.
·
Keadaan tersebut masih diperparanh dengan laju
pertumbuhan penduduk ( 2,8 % ) yang lebih besar dari laju pertumbuhan ekonomi
saat itu, yakni sebesar 2,2 %.
Upaya
Nasionalisasi Negara Indonesia Terhadap Ekonomi Bekas Kolonial yang Runtuh
Pengambil-alihan
ekonomi kolonial mulai sejak 1957 dengan upaya serikat kerja yang secara
sepihak memantapkan kendali atas perusahaan-perusahaan Belanda. Perkembangan
ini menjadi isyarat bagi kalangan militer dan mereka bergera mengambil-alih
kendali perusahaan-perusahaan Belanda serta memulai mendominasdi atas sektor
eperusahaan negara yang lahir dari kepentingan-kepentingan Belanda yang disita.
Dilatar-belakangi nasionalisasi dan tantangan
pemberontakan daerah, Presiden Sukaaarno menghapuskanm pemerintahan partai dan
memantapkan suatu bentuk kekuasaan yang populis dan totaliter, melalui koalisi
yang goyah dan sulit antara kekuatan-kekuatan nasional, termasuk PKI dan
militer bersama dengan borjuasi pribumi yang dulu berharap memasuki kepentingan
permodalan Belanda. Namun, anasionalisme ekonomi ternyata mengambil bentuk
kapitalisme negara. Sampai derajat tertentu, kebijakan-kebijakan ekonomi yang
dikenal sebagai "Ekonomi Terpimpin" memang telah membuka peluang bagi
perkembangan modal industri nasional, baik oleh negara maupun swasta. Banyak
upaya dilakukan untuk memaksakan investasi domestik beralih dari impor ke
industri. Impor-impor komoditi yang potensial bisa digarap di Indonesia,
dibatasi. Program-program skala besar untuk meminjam uang dari luar negeri
dijalankan dalam rangka menciptakan industri nasional dalam produksi baja dan
pemubatan kapal. Dengan kredit, kontrak, dan hak monopoli dari negara, beberapa
kelompok bisnis swasta pribumi dan perusahaan-perusahaan negara berhasil
melangkah ke dalam usaha manufaktur.
Tetapi eksperimen Sukarno untuk mewujudkan
suatu perekonomian industrial nasional gagal karena berbagai sebab, yang
terpenting diantaranya ialah karena tak ada suatu borjuasi nasional (baik
pribumi maupun Tionghoa) yang mampu menyediakan basis bagi akumulasi,
organisasi korporasi, manajemen, dan keahlian teknis. Sukarno tidak menguasai
struktur partai dengan koherensi ideologi atau disiplin politik dan organisasi
politik di tingkat massa untuk bisa menjalankan organisasi sosial, perencanaan
ekonomi, dan manajemen yang mutlak bagi transformasi yang mendasar itu.
Sebaliknya, ia terpaksa membagikan kontrol atas kapitalisme negara ke-pada para
pejabat sipil dan militer yang memandang perusaahaan dagang negara yang baru
dan wewenang negara untuk mengatur perdaga-ngan dan industri terutama sebagai
sarana yang lebih efektif untuk memperoleh kontrol atas sistem distribusi.
Mereka lebih memu-satkan diri pada pengumpulan upeti daripada usaha akumulasi
modal. Akibatnya Ekonomi Terpimpin hanya sedikit lebih dari pengambilan-alihan
oleh faksi politiko-militer kontrol atas akses ke perdagangan dan produksi yang
ditegakkan dalam perekonomian kolonial yang ada.
Tanpa aparatus negara atau borjuasi nsional
yang mampu menyediakan basis kokoh untuk akumulasi dan manajemen untuk
meng-gantikan Belanda, perekonomian Indonesia mulai berantakan. Hal ini sudah
tampak sejak 1963 ketika negara mulai memediasi pengunduran dari tujuan-tujuan
yang lebih ketat perekonomian terencana yang didominasi negara. Tetapi proses
disintegrasi ekonomi berjalan maju terus tanpa bisa dicegah. Inflasi dengan
cepat membumbung sampai lebih dari 600%, arus impor barang konsumsi dan suku
cadang terhenti sedang prasarana ekonomi kacau dan berantakan. Pendapatan
ekspor dari perkebunan merossot karena produksi perkebunan ini terrkena akibat
dari rendahnya pemeliharaan dan investasi serta buruknya manajemen. Kehancuran
berkeping-keping ini sangat berpengaruh pada unsur-unsur masyarakat yang paling
terpadu dalam struktur-struktur enclace produksi dan impor komoditi yang dulu
dikuasai oleh Belanda: para pejabat, negara, kelas-kelas menengah kota dan
borjuasi pedagang domestik. Bagi orang-orang ini dan bagi kaum militer,
solusinya semakin jelas terletak pada pembangunan kembali perekonomian
kapitalis dan masuknya kembali modal asing sebagai basis bagi akumulasi. Oleh
sebab kontradiksi sosial-politik yang timbul pada masa itu, penghancuran negara
Sukarnois dan penyatuan kembali de-ngan perekonomian kapitalis dunia semakin
mendesak bagi kaum militer, para pejabat negara, borjuasi pedagang dan
kelas-kelas mene-ngah kota. Ancaman ini pada pokoknya datang dari PKI dan
organisasi buruh dan taninya. Kekuatan-kekuatan rakyat yang turut serta dalam
persekutuan nasional yang goyah ini melihat perobahan sosial mendasar sebagai
komponen yang diperlukan demi nasionalisme ekonomi dan mulai melancarkan
aksi-aksi sosial dan politik. Di pedalaman pertarungan memperebutkan tanah melahirkan
ancaman yang semakin meningkat bagi kelas-kelas pemilik tanah terutama
Muslim.16 Setelah kudeta militer 1965, negara Orde Baru yang terdiri dari
kepentingan-kepentingan persekutuan militer, mahasiswa, kelas-kelas menengah
kota, borjuasi pedagang pribumi, dan tuan tanah mulai melancarkan penyingkiran
basis sosial dan politik perlawanan terhadap kontra-revolusi. Kelemahan politik
Sukarno, PKI dan kekuatan-kekuatan lain yang mendukung nasionalisme ekonomi
terungkap oleh kenyataan langkanya perlawanan terorganisir terhadap pembantaian
massal, pembersihan dan pemenjaraan besar-besaran yang menghabisi kekuatan
mereka pada 1965 dan 1966.
Daftar
Rujukan
Amelia. 2011. Sejarah Ekonomi Indonesia. (online)
diakses pada 3 Agustus 2011 http://amel-lia90.blogspot.com
Kuswanto. 2011. Sejarah dan Sistem Ekonomi Indonesia. (online)
diakses pada 3 Agustus 2011. http://kuswanto.staff.gunadarma.ac.id
Nia Fandany. 2011.
Perkembangan Ekonomi. (online)
diakses pada 3 Agustus 2011. http://niafandany.blogspot.com
Ungguh Rekso. 2011. Perekonomian Indonesia Pada Tahun 1965. (online) diakses pada 3 Agustus 2011. http://ungguh-rexso.blogspot.com
_____. 2010. Tantangan Indonesia Terhadap Kolonial. (online) diakses pada 3 Agustus 2011. http://id.shvoong.com
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar sahabat blogger sangat berguna bagi perkembangan artikel (post) pada blog ini :)
Gunakan kotak komentar atas untuk pengguna Facebook dan Gunakan kotak komentar bawah untuk blogger ^^V